Bacanya sambil ngocok eaa,, Hampir setiap pagi, suami isteri itu selalu
dongkol dan menahan marah. Betapa tidak, mereka sudah
semenjak Subuh tadi sibuk melakukan pekerjaan rumah
tangga, menantunya masih meringkuk lelap di kamarnya.
Sedang anak lelakinya, suami perempuan manja itu, sudah
beberapa jam yang lalu berangkat memutar dagangannya
ke toko-toko dan warung-warung di daerah itu. Ya,
sudah beberapa hari ini, Handoyo mencoba peruntungan
sebagai distributor barang-barang kebutuhan rumah
tangga. Ia mengambil barang-barang tersebut di pusat
kota dengan harga murah, kemudian mengedarkannya ke
berbagai tempat tersebut dengan selisih harga yang lebih
mahal.
“Keterlaluan sekali Bu, menantu kita itu, masak
sudah jam segini belum juga bangun ?,” Pak Darminto
mulai menggerutu.
“Lha, gimana lagi Pak, Dia pilihan anakmu. Dari
dulu sudah kuperingatkan agar tak Kamu ijinkan dia
menikahi perempuan itu. Nyatanya kelakuannya seperti ini,
setiap hari bikin mangkel saja,” Bu Darminto menyahut
gerutu suaminya, dengan nada tinggi.
“Ah, mengapa Aku yang malah disalahkan. Kamu
juga salah Bu, terlalu memanjakan si Han, sehingga tak
pernah mau menurut perintah orang tua,” sergah Pak
Darminto membela diri.
“Ah, Bapak ini selau begitu, tak mau disalahkan,”
isterinya bersungut-sungut.
“Sudahlah Bu, jangan saling menyalahkan.
Mungkin memang kita harus lebih bersabar. Kalau kita
tegur si Narti, juga serba salah. Ia akan mengadu kepada
suaminya, ujung-ujungnya malah kita yang bertengkar
dengan anak sendiri. Mudah-mudahan seiring berjalannya
waktu, menantu kita itu akan mengubah sifat-sifat
buruknya,” Pak Darminto terlihat mulai bijak, sedang
isterinya tampak masih belum bisa meredam
kejengkelannya.
Suami isteri itu kemudian terdiam, mencoba
berdamai dengan kedongkolan yang berkecamuk di dada
mereka masing-masing. Tiba-tiba pintu kamar anaknya
terbuka. Sunarti yang baru bangun tidur, dengan cuek dan
mata masih mengantuk keluar kamar, berjalan menuju
kamar mandi. Bu Darminto mengelus dada, sedang sang
suami memalingkan muka, walau sebenarnya tak bisa
dipungkiri, matanya melirik ke tubuh sintal Sunarti. Ya,
tentu saja, menantunya itu keluar kamar dengan tubuh
yang nyaris terbuka, hanya mengenakan tank top dan
celana dalam tipis, terlihat jelas lekuk dan tubuh kuning
langsatnya yang mulus.
Bu Darminto makin uring-uringan. Ia memandang
suaminya, ada rasa cemburu di hatinya. Suaminya salah
tingkah. “Eh Bu, Aku ke sawah saja dulu, matahari sudah
makin tinggi.”
Hari merambat siang, dan keadaan seperti itu
selalu mengulang hari-hari kemarin dan akan berulang
kembali di hari-hari selanjutnya.
***
Handoyo pertama kali bertemu dengan Sunarti
di sebuah counter HP. Mereka sama-sama kehabisan
pulsa ketika itu. Selanjutnya mereka saling berkenalan,
dan bertukar nomor HP. Handoyo merasa jatuh cinta
pada pandangan pertama dengan gadis manis berbandal
sintal kemanja-manjaan itu. Tiap hari ia datangi rumah
Sunarti, yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Seminggu kemudian, di hadapan kedua orang tuanya, ia
utarakan keinginannya melamar pujaan hatinya tersebut.
Pak dan Bu Darminto tentu saja terkejut, tak pernah
terlihat berpacaran dengan seorang perempuanpun,
tiba-tiba saja anaknya itu minta dinikahkan. Lebih terkejut
lagi, setelah tahu bahwa gadis yang dicintai oleh Handoyo
adalah anak dari seseorang yang pernah bersinggungan
dengan masa lalu pasangan suami isteri itu.
“Pokoknya Aku tidak setuju, Kamu menikahi
gadis itu. Ibu punya firasat ia bukan perempuan baik-baik
untukmu,” Bu Darminto mengutarakan ketidaksukaannya.
“Lagi pula, Kamu mengenalnya kan baru sebentar, belum
tahu banyak hal tentang dia to ?” suaminya
menambahkan.
“Setuju atau tidak setuju, Aku tetap akan
menikahi Sunarti. Kalau Bapak dan Ibu tidak mau
melamarkan, akan kulamar sendiri ia pada orang tuanya,”
Handoyo ngotot dengan keinginannya.
Demikianlah, setelah berdebat panjang, Handoyo
tak surut langkah dengan keinginannya, akhirnya Pak dan
Bu Darminto terpaksa memenuhi keinginan putera
bungsunya itu. Apalagi setelah Handoyo mengancam akan
meninggalkan rumah, apabila tetap tidak direstui
meminang Sunarti. Maka, berlangsunglah kemudian acara
lamaran itu. Beberapa hari setelahnya, dengan acara
sederhana pula, yang cuma dihadiri kerabat dekat dan
tetangga kanan kiri, Handoyo resmi menikahi Sunarti.
Banyak hal sebenarnya mengganjal di hati Pak
dan Bu Darminto tentang pernikahan anaknya itu,
terutama bagi Bu Darminto. Ya, betapa tidak, ternyata
ibu Sunarti, dahulu kala adalah kekasih Pak Darminto.
Seperti kasak-kusuk yang terdengar kemudian diantara
para tetangga, dulu Pak Darminto dan ibu Sunarti adalah
sepasang kekasih yang di mabuk cinta. Tetapi sayang,
cinta mereka akhirnya kandas di tengah jalan. Pak
Darminto tidak dapat membantah perintah orang tua,
bahwa ia telah dijodohkan dengan gadis pilihan orang
tuanya, ibunya Handoyo sekarang. Menurut cerita,
setelah mengetahui kekasih hatinya itu menikah, ibu
Sunarti seperti putus asa berkepanjangan hingga hampir
gila. Pihak keluarga akhirnya membawa ibu Sunarti ke
Jakarta, ke tempat saudara jauhnya, agar dapat
melupakan kegagalan cintanya yang pahit itu.
Demikianlah, lama tak terdengar kabarnya,
beberapa tahun yang lalu, ibu Sunarti pulang kembali ke
tempat asalnya dengan membawa seorang anak gadis
molek yang telah menginjak dewasa, anak kandungnya,
yang sungguh mirip dengan dirinya di kala muda. Konon di
Jakarta, ia pernah menikah dengan seseorang, tetapi
takdir menghendaki bahwa suaminya meninggal akibat
suatu penyakit berat. Merasa kesulitan mencari
penghasilan di kota besar, akhirnya ibu Sunarti kembali
pulang ke kampung halaman.
Cerita itu terdengar pula oleh Handoyo
kemudian. Namun tetap tak mengurangi cintanya kepada
Sunarti. Ia tetap menyayangi Sunarti, bahkan makin
memanjakannya, hingga sering membuat ia harus beradu
mulut dengan kedua orang tuanya, terutama dengan
ibunya, yang sedari mula memang terang-terangan
menyatakan ketidaksukaannya kepada menantunya itu.
***
“Pak, kamu dengar nggak gunjingan tetangga kiri
kanan,” pagi-pagi Bu Darminto sudah kembali berbicara
dengan nada keras.
“Gunjingan apa to Bu ?” Pak Darminto
menjawab dengan agak acuh.
“Ealah Bapak ini, pura-pura nggak tahu saja,” Bu
Darminto terlihat mulai sewot. “Itu lho tentang kelakuan
menantu ayumu. Dandanannya itu, kayak perek saja.
Rambutnya disemir warna-warni, keluar rumah dengan
pakaian minim, dan ini sungguh yang membuatku muak,
perempuan kok nggak malu kemana-mana merokok
klecas-klecis. Apa dia nggak tahu, duit yang ia hamburkan
untuk itu semua berasal dari hasil kerja keras suaminya
seharian.”
“Lalu, aku harus bagaimana ? Kalau Narti
kutegur, yang marah malah si Han. Aku bosan bertengkar
terus dengan anak sendiri “
Memang begitulah, suami isteri itu tak tahu
harus berbuat apa terhadap menantunya, selain hanya
bisa menahan dongkol di dalam hati. Beberapa kali ia
menasehati Sunarti agar mengubah kebiasaan buruknya,
tetapi tak digubris sama sekali, malah ia sering mengadu
macam-macam kepada Handoyo, bahwa ia sering
diperlakukan tidak baik oleh mertuanya. Handoyo langsung
marah kepada orang tuanya, bila mendengar pengaduan
seperti itu. Pak dan Bu Darminto, sekali lagi, hanya bisa
mengurut dada, memperpanjang kesabaran.
Mereka sebenarnya merasa kasihan dengan
anaknya tersebut. Handoyo adalah pekerja keras, namun
selalu luput dari keberuntungan dan nasib baik. Berbagai
usaha dilakoni, tak kenal lelah, tetapi hasil yang dituai tak
juga memuaskan. Kakak-kakaknya sudah mentas semua,
mempunyai rumah sendiri-sendiri. Tinggal dia seorang
yang menemani mereka berdua. Kini, sekali kenal
perempuan kemudian dijadikan isteri, ternyata tak bisa
dikatakan sebagai perempuan baik-baik pula yang ia
dapatkan.
***
Dua tahun lebih rumah tangga Handoyo dan
Sunarti berjalan, namun belum juga dikarunia anak. Mereka
tidak mempunyai masalah dengan kehidupan seksual.
Sunarti beberapa beberapa kali dikatakan positip hamil,
tetapi entah mengapa janin yang dikandungnya selalu
mengalami keguguran.
Suatu hari, Sunarti mengadu kepada suaminya
bahwa ia sudah tidak betah tinggal satu rumah dengan
mertuanya. Ia merasa tertekan selalu dipandang rendah
oleh mereka. Sunarti mengatakan bila kandungannya
mengalami keguguran berkali-kali, karena ia berpikir
terlalu berat dan tidak bisa bebas melakukan ini itu, juga
akibat tekanan mental dari mertuanya. Perempuan itu
mengiba kepada suaminya agar mencari rumah kontrakan
saja, supaya nanti janin dalam kandungannya bisa
diselamatkan.
Akhirnya, Handoyo memutuskan tinggal di rumah
kontrakan. Pak dan Bu Darminto tak kuasa menahannya.
Ada rasa senang sebenarnya di hati kecil mereka, bisa
lepas dari seseorang yang selama ini membuat dongkol
dan sebah, namun juga ada rasa tak tega pula, sebab
harus membiarkan anak bungsunya tidak bersama mereka
lagi.
Tetapi sebetulnya mereka tidak benar-benar
jauh dari anak dan menantunya tersebut. Rumah yang
dikontrak Handoyo masih satu lingkup dengan daerah itu.
Handoyo pun pada siang hari, sesekali mampir ke rumah,
mengambil barang dagangan yang memang sebagian masih
ia taruh disitu. Terkadang pula, sehabis pulang dari sawah,
Pak Handoyo menyempatkan diri menengok rumah
kontrakan Handoyo, membawakan makanan atau
sekedar menengok saja. Hanya Bu Darminto yang benar-
benar tak sudi bertemu dengan menantunya lagi.
Beberapa bulan setelah tinggal di rumah
kontrakan, Sunarti kembali positip hamil. Kali ini Handoyo
betul-betul menjaganya, takut keguguran lagi. Dan benar,
perut Sunarti semakin membesar, tampaknya kehamilan
kali ini dapat diselamatkan. Handoyo senang bukan
kepalang, ternyata keputusannya tinggal di rumah
kontrakan adalah benar. Lelaki muda itu makin giat
bekerja, tak kenal lelah ia memasarkan barang
dagangannya setiap hari. Ia berharap, mempunyai uang
yang cukup untuk biaya persalinan dan membesarkan
anaknya nanti.
***
Siang yang garang, matahari benar-benar terik
menyengat bumi. Bu Darminto sibuk sendirian di rumah.
Suaminya dari pagi sampai tengah hari ini pergi ke sawah
dan belum pulang. Entah apa yang membuat hati Bu
Darminto tiba-tiba ingat menantunya yang sedang hamil.
Perempuan paruh baya itu merasa bersalah, terlalu
membenci Sunarti, hanya karena ia adalah anak dari
seorang yang dulu pernah begitu lama mengisi hati
suaminya.
Bu Darminto ingin menebus kesalahannya selama
ini. Bagaimanapun juga Sunarti telah menjadi isteri
anaknya, yang kelak akan menjadi ibu pula dari cucu-
cucunya. Ia memasak bermacam-acam makanan. Sebelum
mengantarkan ransum untuk suaminya ke sawah, ia
mampir dulu ke rumah kontrakan Handoyo, memberikan
sebagian hasil masakannya itu kepada anak dan
menantunya.
Rumah kontrakan Handoyo begitu lengang.
Handoyo pasti sedang memutar dagangannya di luar. Bu
Darminto bergegas mengetuk pintu depan, tampak ia
kerepotan karena membawa beberapa kotak makanan.
Mendadak kegembiraannya sirna, berubah menjadi curiga
dan amarah begitu melihat sebuah sepeda motor butut
tersembunyi di samping rumah. Ya, itu adalah sepeda
motor tua yang biasa dipakai suaminya pergi ke sawah,
yang letaknya memang agak jauh dari rumahnya.
Sontak ia buka pintu depan yang tidak terkunci,
kemudian berlari ke kamar yang cuma satu-satunya, dan
mendapati pemandangan yang sungguh membuat bara di
dadanya kembali menyala hebat. Di ranjang itu, laki-laki
yang puluhan tahun setia ia dampingi sedang bermesraan
dengan menantunya yang hamil tua.
Siang yang terik dan udara yang gerah, seperti
mengalirkan energi panas ke sekujur tubuh Bu Darminto,
naik sampai ke ubun-ubun. ●
texas poker
EmoticonEmoticon